Syiar ....500 Tahun Islam Di Papua: Dari Raja Ampat Sampai Sultan Papua

  Ayo  Jalan Terus !  - Syiar Islam di Bumi Papua terjadi terutama terkonsentrasi di wilayah Papua Barat, mulai dari Raja Ampat sampai Fakfak


Haji Oea Saraka di Onin (Fakfak). Foto diambil antara tahun 1890-1900 


Oleh : Beggy Rizkiyansyah

GEMA Takbir mengumandangkan kebesaran Allah di nusantara ternyata meluas, bahkan sampai ke Papua. Lautan luas, diterabas, ombak diterjang oleh Muslim untuk menyiarkan Islam ke penjuru nusantara. Di bumi Papua, kita sanggup mencicipi kehadiran dakwah Islam, bahkan semenjak lima ratus tahun yang lalu.

Papua sendiri telah dikenal semenjak lama. Pada masa Kerajaan Sriwijaya, Papua disebut Janggi. Pelaut Portugis yang pernah singgah di Papua tahun 1526-1527 menyebutnya ‘Papua.’ Namun ada pula yang menyebutnya Isla de Oro (Island of Gold). Kemiripan fisik orang Papua dengan orang Afrika menciptakan pelaut Spanyol menyebutnya ‘Nieuw Guinea’, merujuk pada wilayah Guinea di Afrika Barat.[Rekonstruksi Sejarah Umat Islam di Tanah Papua. Disertasi tidak diterbitkan, Toni Victor M, Sekolah PascaSarjana Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta 2008.]

Papua, mungkin juga berasal dari bahasa Melayu, pua-pua, yang berarti keriting. Istilah ini digunakan oleh William Mardsen tahun 1812, dan terdapat dalam salah satu kamus bahasa Melayu -Belanda karya Von der Wall tahun 1880, dengan kata ‘Papoewah’ yang berarti orang yang berambut keriting.[On the Origin of the Name Papua, J Sollewijn Gelpke. 1993BKI Vol 149 No: 2.Leiden]

Istilah Papua sendiri tampaknya berasal dari bahasa Tidore, Papo Ua, yang berarti tidak bergabung atau tidak bersatu. Maksudnya ialah wilayah luas dan tanah besar itu (Papua) tidak termasuk ke dalam induk kesultanan Tidore.

Berbagai sebutan untuk Papua menyiratkan pada kita, akan keragaman bangsa yang berinteraksi dengan orang-orang Papua. Salah satu bangsa yang diketahui bekerjasama dagang dengan orang-orang Papua ialah pedagang Cina. Pertukaran barang menyerupai porselin dan tembikar terjadi diantara mereka. Bahkan di kalangan masyarakat Seruni, terdapat keturunan Cina. Hubungan lain tercipta antara Kerajaan Majapahit dengan orang-orang Papua. Terutama dengan penduduk Papua di Onin (Wwanin), Fakfak. Hubungan ini diketahui dari Syair Negarakertagama karya Empu Prapanca (1365M), dalam sebuah bait syair disebutkan kata Wwanin (Onin, Fakfak) dan Sran (Kowiai atau Kaimana).

Tak hanya dengan bangsa di Asia, para penjelajah Eropa juga telah mengunjungi Papua semenjak masa ke 16. Tahun 1526, misalnya, Gubernur Portugal pertama di Maluku berjulukan Jorge de Menesez mengunjungi Pulau Waigeo (Raja Ampat). Tahun 1545, Kapten Ynigo Ortiz de Retez dari Spanyol mencapai sekitar Sarmi, di muara Sungai Mamberamo. Ia kemudian memberi nama pulau itu (Papua) Nueva Guinea.

Hubungan orang Papua, yaitu Raja Waigeo dengan orang Portugis sanggup ditelusuri dari catatan perjalanan Miguel Roxo de Brito, yang menjelajah ke Raja Ampat tahun 1581. Dari catatan De Brito, tampaknya sanggup kita simpulkan Raja Waigeo telah memeluk agama Islam.[ The Report of Miguel Roxo de Brito in His Voyage in 1581-1582 To the Raja Ampat, the MacClur Gulf and Seram, JHF Sollewijn Gelpke, BKI Vol 150 No: 1 Leiden, 1994]

Kontak-kontak orang-orang Papua dengan banyak sekali pihak tersebut biasanya sebatas perdagangan. Namun kontak orang-orang Papua dengan Muslimlah yang kemudian memperlihatkan dampak yang berbeda. Kontak orang-orang Papua dengan Muslim tak hanya terbatas pada soal perdagangan, namun juga perubahan hidup mereka dengan memeluk Islam.

Syiar Islam di Bumi Papua terjadi terutama terkonsentrasi di wilayah Papua Barat, mulai dari Raja Ampat sampai Fakfak. Ada beberapa versi mengenai masuknya Islam di Papua. Kebanyakan sumber sejarah masuknya Islam di Papua berdasarkan sumber-sumber verbal masyarakat setempat. Versi Papua, misalnya, berdasarkan legenda di masyarakat setempat, khususnya di Fakfak. Versi ini menyebut Islam bukanlah dibawa dari luar menyerupai Tidore atau pedaganh Muslim, tetapi Papua sudah Islam semenjak Pulau Papua diciptakan oleh Allah. Versi ini tentu saja tidak sanggup diterima, namun secara tersirat versi ini membuktikan Islam di Papua telah menjadi kepercayaan yang menyatu dengan masyarakat setempat.

Versi lain ialah versi Aceh. Versi ini berdasarkan sejarah verbal dari kawasan Kokas (Fakfak) yang menyebutkan Syekh Abdurrauf dari Kesultanan Samudera Pasai mengirim Tuan Syekh Iskandar Syah untuk berdakwah di Nuu War (Papua) tahun 1224. Syekh Iskandar kala itu membawa beberapa kitab yakni mushaf Al Qur’an, kitab hadits, kitab tauhid dan kitab kumpulan doa. Ada pula manuskrip yang ditulis di atas pelepah kayu, menyerupai daun lontara. Beberapa manuskrip tersebut diyakini selamat sampai ketika ini. Namun versi ini perlu dipertimbangkan kembali, mengingat btu nisan Sultan pertama Pasai, Malik As Shalih di Pasai berangka tahun 1297M. Artinya, masa ke 13 ialah masa-masa awal Kesultanan Samudera Pasai. Dakwah Kesultanan Samudera Pasai ketika itu (abad ke 13) tampaknya masih terkonsentrasi di Sumatera, mengingat ketika itu, wilayah-wilayah lain di Sumatera pun belum sepenuhnya memeluk Islam. Manuskrip warisan yang disimpan sampai kini, akan lebih baik jikalau diteliti secara filologi.

Menurut tradisi verbal lain di Fakfak, Islam disebarkan oleh mubaligh berjulukan Abdul Ghafar asal Aceh pada tahun 1360-1374 di Rumbati. Makam dan Masjid Rumbati menjadi peninggalannya. Namun info lain menyebut Abdul Ghafar tiba ke Rumbati tahun 1502 M. Kemungkinan ini perlu ditinjau kembali, terutama dalam hal waktu masuknya Islam. Kemungkinan Abdul Ghafar tiba pada masa ke 16, bersamaan dengan masa keemasan Kesultanan Ternate dan Tidore sebagai bandar jalur sutera dan meluaskan kekuasaannya dari Sulawesi sampai Papua.

Versi lain masuknya Islam di Papua ialah versi Arab. Versi ini menyebutkan Islam di Papua disebarkan oleh seorang sufi berjulukan Syarif Muaz al Qathan (Syekh Jubah Biru) dari Yaman , yang terjadi pada masa ke 16. Hal ini sesuai dengan adanya Masjid Tunasgain yang dibangun sekitar tahun 1587. Informasi lain menyebut Syekh Jubah Biru tiba pada tahun 1420M.

Pendapat yang tampaknya lebih besar lengan berkuasa mengenai masuknya Islam di Papua ialah datangnya Islam di Papua melalui Kesultanan Bacan (Maluku). Di Maluku terdapat empat Kesultanan, yaitu, Bacan, Jailolo, Ternate dan Tidore (Moloku Kie Raha atau Mamlakatul Mulukiyah). J.T. Collins, menyebutkan, berdasarkan kajian linguistik, Kesultanan Bacan ialah Kesultanan tertua di Maluku. Syiar Islam oleh Kesultanan Bacan disebarkan di wilayah Raja Ampat.

Terbentuknya Kolano Fat (Raja Ampat atau Raja Empat, dalam bahasa Melayu) di kepulauan Raja Ampat oleh Kesultanan Bacan, sanggup dilihat dari nama-nama gelar di kepulauan tersebut; (1) Kaicil Patra War, bergelar Komalo Gurabesi (Kapita Gurabesi) di Pulau Waigeo, (2) Kaicil Patra War bergelar Kapas Lolo di Pulau Salawati. (3) Kaicil Patra Mustari bergelar Komalo Nagi di Misool, (4) Kaicil Boki Lima Tera bergelar Komalo Boki Sailia di Pulau Seram.Isitilah Kaicil ialah gelar anak pria Sultan Maluku. Menariknya, nama Pulau Salawati berdasarkan tutur verbal masyarakat setempat,, diambil dari kata Shalawat.

Ada beberapa nama tempat yang merupakan santunan Sultan Bacan. Seperti Pulau Saunek Mounde (buang sauh di depan), Teminanbuan (tebing dan air terbuang), War Samdin (air sembahyang). War Zum-zum (penguasa atas sumur) dan lainnya. Nama-nama tersebut merupakan bukti-bukti peninggalan nama-nama tempat dan keturunan Raja Bacan yang menjadi Raja-raja Islam di Kepulauan Raja Ampat. Kemungkinan Kesultanan Bacan berbagi Islam di Papua sekitar pertengahan masa ke 15 dan kemudian masa ke 16, terbentuklah kerajaan-kerajaan kecil di Kepulauan Raja Ampat, sehabis para pemimpin-pemimpin Papua di Kepulauan tersebut mengunjungi Kesultanan Bacan tahun 1596.

Pendapat ini didukung pula oleh catatan sejarah Kesultanan Tidore ‘Museum Memorial Kesultanan Tidore Sinyine Malige’, yang menyebutkan Sultan Ibnu Mansur (Sultan Tidore X) melaksanakan ekspedisi ke Papua dengan satu armada kora-kora. Ekspedisi ini menyusuri Pulau Waieo, Batanta, Salawati, Misool di Kepulauan Raja Ampat. Di wilayah Misool, Sultan Ibnu Mansur yang sering disebut Sultan Papua I, mengangkat Kaicil Patra War, putra Sultan Bacan dengan gelar Komalo Gurabesi. Kacili Patra War kemudian dinikahkan dengan putri Sultan Ibnu Mansur, yaitu Boki Thayyibah. Dari penikahan inilah Kesultanan Tidore memperluas pengaruhnya sampai ke Raja Ampat bahkan sampai Biak.* (BERSAMBUNG)
Penulis Penggiat Jejak Islam untuk Bangsa (JIB)

Rep: Admin Hidcom

Editor: Cholis Akbar







Terima Kasih sudah membaca, Jika artikel ini bermanfaat, Yuk bagikan ke orang terdekatmu. Sekaligus LIKE fanspage kami juga untuk mengetahui info menarik lainnya  @Tahukah.Anda.News

republished by Ayo Jalan Terus! -  Suarakan Fakta dan Kebenaran ! 



Berlangganan update artikel terbaru via email:

Belum ada Komentar untuk "Syiar ....500 Tahun Islam Di Papua: Dari Raja Ampat Sampai Sultan Papua"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel